Setiap kali mendengar kata belajar, sepertinya hampir semua telinga berdengung. Itu pun terjadi pada telinga saya. Belajar bukan kata yang perlu ditakuti atau dihindari bahkan tak perlu dijadikan kambing hitam. Kenapa kita selalu mengasumsikan kata belajar dengan sesuatu yang kesannya serius, formal, kaku, membosankan, dan kata-kata yang bernilai negatif. Harusnya kita menyadari bahwa sejak kita dilahirkan kedunia ini, kita tak pernah luput atau lepas dari kata yang satu ini. Sejak bayi kita belajar menangis..apa benar menangis itu belajar? baiklah ambil contoh yang lain, ketika kita berumur 1 tahun kita belajar merangkak, kemudian dilanjutkan dengan belajar berjalan, dan belajar mengucapkan kata "mama". Banyak contoh yang bisa kita ambil bahkan sejak kita masih belum mengerti esensi dari belajar itu sendiri.
Ketika kita menginjak masa remaja, kata belajar ini semakin rumit atau semakin membuat kita penuh beban. Tak seperti dulu waktu kita balita yang dengan riang gembiranya melewati masa-masa belajar. Orang tua kita sering menyebutkan atau bahkan meneriakkan kata belajar penuh dengan pengharapan dan tekanan. "Kamu sudah belajar apa hari ini?" , "Kenapa kamu tidak belajar, malah main terus?", "Belajar sana!jangan males-malesan!", "Belajar kamu!atau uang jajan mami potong!". Apa yang terjadi dengan belajar di masa-masa seperti ini? saya teringat ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Ibu saya pernah berkata "Kamu kenapa ga belajar, katanya mau jadi dokter?"
Kata belajar terus terngiang di telinga saya sampai saya menginjak dewasa. Kemudian saya menyikapinya dengan penuh beban. "Apakah benar saya harus giat belajar biar saya jadi dokter nantinya" hati kecil saya berbisik. Namun kenyataan berkata lain saya tidak jadi dokter saat ini, dengan catatan bahwa saya sudah belajar dengan giat pada waktu Sekolah Menengah Umum agar bisa masuk Perguruan Tinggi baik itu Negeri ataupun Swasta yang memiliki jurusan Kedokteran. Kesimpulan salah yang mungkin saya bisa saya ambil pada saat itu adalah tidak perlu giat belajar, toh saya tidak jadi dokter. Namun kesimpulan bijak yang bisa kita ambil dari kasus di atas adalah "ternyata diperlukan bukan sekedar giat belajar untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang ingin kita raih", ada faktor-faktor lain yang memang harus kita penuhi dan tentunya ada faktor X yang kita tak pernah ketahui sebelumnya.
Dari semua itu saya mendapati hal yang luar biasa dari kata belajar ini. Pada masa pertengahan kuliah, saya menyadari satu hal yang merubah pandangan saya akan kata belajar. Kita tidak perlu selalu bergulat dengan buku-buku tebal, bacaan-bacaan yang penuh dengan teori dan itung-itungan untuk melakukan kegiatan belajar. Dan yang paling utama dari proses belajar adalah jangan pernah belajar kalau hanya ingin mengejar "nilai" berupa angka atau huruf mutu (10, 100, A, B, 3.5, 3.75, dll). Saya lebih menikmati prosesnya dan hasilnya lebih dengan pembuktian yang karya nyata (manfaat bagi diri sendir maupun orang lain). "Nilai" bukan tujuan utama, tapi menurut saya tujuan utama kita harus lebih mulia daripada itu.
Ketika kita berbicara dengan orang lain, saling bertukar pikiran atau pun beradu argumen dengan orang lain itu pun salah satu dari bentuk belajar. Saat berdiskusi tersebut, kita belajar mendengarkan pendapat orang lain, belajar menghormati pandangan hidup orang lain. Belajar Apa pun!karena dibalik pembelajaran itu semua pasti ada sesuatu yang bisa kita ambil walaupun itu sedikit, buang yang kurang berguna-nya dan ambil yang berguna-nya bagi kita. Alasan kita tidak menyukai hal tersebut (subjek, topik, pelajaran) jangan selalu dikedepankan, karena "kita tidak pernah atau apa yang terbaik buat kita, tapi Tuhan tahu". Mungkin kita merasa A bukan yang terbaik (bermanfaat) buat kita, tapi siapa tahu sudah menuliskan A adalah yang terbaik buat kita.
Saya teringat akan perkataan Aesop, seorang budak semenanjung Balkan yang dibebaskan oleh majikannya dan akhirnya menjadi pembuat fabel terkenal, mengatakan "Penderitaan adalah pelajaran". Jadi jangan menunggu sampai kamu menderita sehingga mendapat pelajaran. Sadarkan dirimu dari sekarang juga, karena saya sangat menyesal tidak mengetahuinya dari dulu.
Ketika kita menginjak masa remaja, kata belajar ini semakin rumit atau semakin membuat kita penuh beban. Tak seperti dulu waktu kita balita yang dengan riang gembiranya melewati masa-masa belajar. Orang tua kita sering menyebutkan atau bahkan meneriakkan kata belajar penuh dengan pengharapan dan tekanan. "Kamu sudah belajar apa hari ini?" , "Kenapa kamu tidak belajar, malah main terus?", "Belajar sana!jangan males-malesan!", "Belajar kamu!atau uang jajan mami potong!". Apa yang terjadi dengan belajar di masa-masa seperti ini? saya teringat ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Ibu saya pernah berkata "Kamu kenapa ga belajar, katanya mau jadi dokter?"
Kata belajar terus terngiang di telinga saya sampai saya menginjak dewasa. Kemudian saya menyikapinya dengan penuh beban. "Apakah benar saya harus giat belajar biar saya jadi dokter nantinya" hati kecil saya berbisik. Namun kenyataan berkata lain saya tidak jadi dokter saat ini, dengan catatan bahwa saya sudah belajar dengan giat pada waktu Sekolah Menengah Umum agar bisa masuk Perguruan Tinggi baik itu Negeri ataupun Swasta yang memiliki jurusan Kedokteran. Kesimpulan salah yang mungkin saya bisa saya ambil pada saat itu adalah tidak perlu giat belajar, toh saya tidak jadi dokter. Namun kesimpulan bijak yang bisa kita ambil dari kasus di atas adalah "ternyata diperlukan bukan sekedar giat belajar untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang ingin kita raih", ada faktor-faktor lain yang memang harus kita penuhi dan tentunya ada faktor X yang kita tak pernah ketahui sebelumnya.
Dari semua itu saya mendapati hal yang luar biasa dari kata belajar ini. Pada masa pertengahan kuliah, saya menyadari satu hal yang merubah pandangan saya akan kata belajar. Kita tidak perlu selalu bergulat dengan buku-buku tebal, bacaan-bacaan yang penuh dengan teori dan itung-itungan untuk melakukan kegiatan belajar. Dan yang paling utama dari proses belajar adalah jangan pernah belajar kalau hanya ingin mengejar "nilai" berupa angka atau huruf mutu (10, 100, A, B, 3.5, 3.75, dll). Saya lebih menikmati prosesnya dan hasilnya lebih dengan pembuktian yang karya nyata (manfaat bagi diri sendir maupun orang lain). "Nilai" bukan tujuan utama, tapi menurut saya tujuan utama kita harus lebih mulia daripada itu.
Ketika kita berbicara dengan orang lain, saling bertukar pikiran atau pun beradu argumen dengan orang lain itu pun salah satu dari bentuk belajar. Saat berdiskusi tersebut, kita belajar mendengarkan pendapat orang lain, belajar menghormati pandangan hidup orang lain. Belajar Apa pun!karena dibalik pembelajaran itu semua pasti ada sesuatu yang bisa kita ambil walaupun itu sedikit, buang yang kurang berguna-nya dan ambil yang berguna-nya bagi kita. Alasan kita tidak menyukai hal tersebut (subjek, topik, pelajaran) jangan selalu dikedepankan, karena "kita tidak pernah atau apa yang terbaik buat kita, tapi Tuhan tahu". Mungkin kita merasa A bukan yang terbaik (bermanfaat) buat kita, tapi siapa tahu sudah menuliskan A adalah yang terbaik buat kita.
Saya teringat akan perkataan Aesop, seorang budak semenanjung Balkan yang dibebaskan oleh majikannya dan akhirnya menjadi pembuat fabel terkenal, mengatakan "Penderitaan adalah pelajaran". Jadi jangan menunggu sampai kamu menderita sehingga mendapat pelajaran. Sadarkan dirimu dari sekarang juga, karena saya sangat menyesal tidak mengetahuinya dari dulu.
0 komentar:
Post a Comment