Pages

Oct 11, 2011

BENCANA ALAM DAN KRISIS INFORMASI PUBLIK



Agus Sudibyo
Di penghujung tahun 2006, banjir dan tanah longsor kembali  mengoyak-koyak negeri ini. Skala bencana, korban dan kerugian yang ditimbulkan bukannya menurun, tetapi justru semakin memprihatinkan. Pada awal tahun 2007, bencana lain bettubi-tubi menghampiri kita, dari tenggelamnya beberapa kapal penumpang, hilangnya pesawat Adam Air, beberapa kecelakaan kereta api. Terakhir, kita dihadapkan pda wabah flu burung yang sama-sekali sulit diprediksi persebarannya.
Fakta demi fakta ini jelas harus dipertanyakan. Berbagai bencana itu, kecuali bencana flu burung yang benar-benar baru bagi kita, sesungguhnya bukan sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Bukankah belakangan banjir dan tanah longsor  itu sudah menjadi peristiwa rutin tahunan ? Bukankah kecelakaan transportasi umum sudah setiap tahun terjadi ?  
 Satu permasalahan yang kita hadapi di sini adalah, kita tak pernah serius belajar dari pengalaman dan menjadikannya dasar untuk mengambil langkah-langkah antisipasi. Maka terulanglah apa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya adalah sikap abai terhadap informasi, lebih spesifik lagi informasi-informasi tentang berbagai aspek penanggulangan kondisi darurat kepada masyarakat yang membutuhkan. Korban dan kerugian bencana alam semakin besar karena tidak tersedia cukup informasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengidentifikasi tanda-tanda datangnya bencana, bagaimana langkah-langkah menyelamatkan diri, bagaimana berkoordinasi dengan aparat, bagaimana mengakses bantuan dan seterusnya.  Datangnya bantuan hampir selalu terlambat juga karena lembaga-lembaga pemberi bantuan tidak mendapatkan informasi cukup untuk menentukan bantuan yang paling mendesak, daerah-daerah yang paling menderita, dan  prioritas-prioritas tindakan dalam kondisi darurat.
Kelangkaan Informasi Publik
Pada titik ini, segera terlihat kegagalan pemerintah dalam menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan serta dalam merancang strategi komunikasi yang sistematis dan terintegrasi untuk menghadapi situasi bencana. Tidak jelas benar pola komunikasi seperti apa yang diterapkan pemerintah menghadapi bencana banjir dan tanah longsor kali ini. Masyarakat tidak mendapatkan informasi yang menunjukkan prioritas-prioritas tindakan pemerintah untuk menanggulangi kondisi darurat di berbagai daerah. Alih-alih menyaksikan pemerintah yang secara konsistens dan bertanggung-jawab berkomunikasi dengan warganya, publik kemudian dihadapkan adegan saling-lempar tanggung-jawab antar pejabat publik. Adegan yang sama, telah terjadi pada diskursus publik tentang  rekonstruksi Aceh, busung lapar, gizi buruk dan kasus lumpur lapindo.
Bukankah pemerintah sudah memiliki Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) ? Kompetensi-kompetensi Depkominfo sebagai information apparatus  sangat relevans pada momentum bencana saat ini. Inilah saatnya Depkominfo mengoptimalkan fungsi-fungsi komunikasi politik dan diseminasi informasi. Namun fakta berbicara lain. Hampir sama-sekali tak terlihat peran Depkominfo sebagai aparat informasi dan juru penerangan untuk korban-korban bencana banjir dan tanah longsor. Menkominfo lebih sibuk dengan urusan telekomunikasi, MOU Microsoft, dan urusan lain yang kurang menjawab problem-problem diseminasi informasi dan komunikasi politk.  Sepanjang tahun 2006, Depkominfo lebih sibuk dengan ikhtiar politiknya untuk merebut kembali otoritas regulator media dengan KPI (dan Dewan Pers), daripada upaya untuk membangun kapasitas-kapasitas public service information.
Depkominfo belum menunjukkan kontribusinya dalam mengatasi kelangkaan informasi publik tentang berbagai hal, serta dalam memfasilitasi proses komunikasi politik yang ideal bagi pemerintahan SBY. Begitu banyak kontroveris dan disinformasi tentang kebijakan atau sikap pemerintah, begitu sering terjadi ketidakharmonisan dalam interaksi antara pemerintah dengan pers dan unsur-unsur publik. Depkominfo tidak mewarisi sisi positip Departemen Penerangan : menjadi juru penerangan yang efektif. Tetapi justru mewarisi sisi kelam dan antagonistik Departemen Penerangan : menjadi pengontrol kehidupan media, dengan tendensi kuat ke arah repressive state apparatus.
Belenggu Prasangka
Lemahnya komunikasi politik pemerintah juga terlihat dari kurang simpatik Presiden terhadap pemberitaan media soal bencana banjir dan tanah longsor. Presiden kecewa terhadap simpang-siur pemberitaan media tentang jumlah korban bencana yang menurutnya hanya membingungkan keluarga korban. Harus diakui, media sering tak akurat dalam menulis berita dan kurang proporsional dalam mengajukan kritik.
Namun apakah presiden abai terhadap fakta bahwa ketika kelangkaan informasi tentang bencana terjadi, praktis informasi medialah yang notabene membantu masyarakat  untuk mengetahui bagaimana kondisi di wilayah bencana, bagaimana kondisi para korban, dan skala bantuan seperti apa yang dibutuhkan ? Media juga sangat berperan dalam membangkitkan solidaritas untuk korban bencana. Solidaritas yang begitu besar, spontan dan global untuk korban-korban tsunami tahun 2004 misalnya, hanya bisa dijelaskan dengan menggarisbawahi kontribusi media dalam menyebarkan informasi bencana.
Bukan sekali ini saja Pemerintah tidak jeli dalam memandang peran media. Sepanjang tahun 2006, Pemerintah terbukti tidak berhasil menjalankan fungsi diseminasi informasi dan penerangan berkaitan dengan kasus flu burung, busung lapar, gizi buruk dan lain-lain. Dan ketika fungsi itu pada gradasi tertentu bisa dijalankan dengan baik oleh media, pemerintah bersikap reaktif dan defensif.
Pemerintah tampaknya telah terpenjara dalam prasangkanya sendiri, “bahwa media hanya tukang kritik dan anti pemerintah”. Prasangka yang menghalangi  pemerintah untuk mengapresiasi potensi  positip media dan hanya concern terhadap kelemahan media. Persoalannya kemudian adalah, dengan sikap sebagaimana tercermin dalam kritik presiden di atas, jangan-jangan pemerintah justru melanggengkan pola hubungan  “antagonistik” dengan komunitas media, yang didominasi sikap saling curiga, saling tuduh, dan saling tidak respek.
RUU KMIP
Pemerintah bertanggung jawab menyediakan dan menditribusikan informasi-informasi tentang berbagai aspek penanggulangan kondisi darurat kepada kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan. Informasi yang dibutuhkan  masyarakat untuk mengidentifikasi tanda-tanda datangnya bencana, bagaimana langkah-langkah menyelamatkan diri, bagaimana berkoordinasi dengan aparat, bagaimana mengakses bantuan dan seterusnya.  Serta informasi yang dibutuhkan media dan lembaga-lembaga pemberi bantuan untuk secara cepat menentukan bantuan yang paling mendesak, daerah-daerah yang paling menderita, dan  prioritas-prioritas tindakan dalam kondisi darurat.
Dalam konteks inilah kita menemukan posisi strategis RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). RUU KMIP bukan hanya strategi dalam konteks pemberantasan korupsi atau dalam konteks kebebasan pers, namun juga untuk berbagai isu spesifik, seperti halnya isu-isu bencana dan wabah penyakit. RUU KMIP menegaskan bahwa good governance mencakup kapasitas dan tanggung jawab pemerintah atau badan-badan publik untuk menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan masyarakat. Good governance harus diwujudkan dengan mengintegrasikan fungsi-fungsi akses informasi publik ke dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Dan ketika fungsi akses informasi telah menjadi bagian integral dari penyelenggaraan pemerintahan, maka atas nama hukum lembagaatau pejabat publik diwajibkan untuk membuka diri terhadap proses-proses public scrutiny, serta untuk melayani kebutuhan-kebutuhan informasi yang menunjang fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat, serta yang menunjang hak-hak warga negara untuk mendapatkan berbagai pelayanan dari badan-badan publik.
Tanpa perundang-undangan semacam RUU KMIP, lembaga-lembaga pemerintah tidak merasa terikat secara hukum untuk menyediakan informasi publik tentang flu burung, kecelakaan transportasi umum, dan lain-lain. Badan-badan publik tidak melihat pelayanan akses informasi publik tentang berbagai masalah tersebut adalah bagian dari tanggung-jawabnya sebagai sebagai bagian dari struktur pemerintahan. Dalam konteks ini, semakin terlihat urgensi untuk mempercepat proses legislasi RUU KMIP.

· Agus Sudibyo, Koordinator Loby Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, Deputi Direktur Yayasan SET

0 komentar:

Post a Comment