Oleh:
Abdul Hasan Mughni
Abdul Hasan Mughni
Hampir, atau memang sudah terlupakan, klaim—entah memang dahulu benar adanya—yang sering dielu-elukan oleh banyak orang tentang negeri Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, bahkan lirik 'tombak kayu dan batu jadi tanaman' pun tak pernah lagi terdengar. Apakah itu lebih karena faktor bahwa dahulu lagu tersebut hanya digunakan sebagai obat penenang massa dari seorang diktator ataukah memang benar adanya bahwa alam kita telah banyak terkikis.
Fakta mengenai kediktatoran Orba telah banyak terbukti, namun tidak hanya berhenti sampai di situ, karena meskipun lagu-lagu atau sosialisasi mengenai isu lingkungan jarang digembar-gemborkan ternyata memang alam ini seakan sudah teramat cemburu menunggu belaian manusia pilihan yang semoga menjadi pemimpin negeri impian.
Bagaimana tidak cemburu, hutan, kolam-kolam ikan, maupun persawahan tidak ada lagi yang mau melirik terhadapnya, bahkan teriakan-teriakan kecil anak-anak yang pada masa dulu sering terdengar riang menikmati alam pun kini menghilang seakan mereka dipaksa hanya menjalani pendididikan dengan doktrin-doktrin positivismenya demi mengarungi kehidupan industrialisme. Anak-anak bahkan orang tua sekarang tidak mampu lagi memuaskan rasa ingin tahu mereka dan tidak terdorong lagi untuk menyentuh, membaui, dan bermain dengan setiap medium yang mereka temui.
Kondisi seperti ini tentu jauh berbeda dengan yang penulis ataupun orang tua zaman sekarang alami saat masih kecil, saat-saat dapat menghabiskan waktu dengan fantasi miniatur, saat membayangkan daun talas yang mengambang di atas kolam sebagai sebuah pulau yang terombang-ambing di tengah lautan, saat mengawasi binatang-binatang di air bergerak keluar masuk dan membayangkan mereka sebagai penghuni kota. Dengan kemuliaan dari orang tua, anak-anak mendapatkan kebebasan dalam menciptakan nama sendiri, seperti kontol robyong (tumbuhan yang persis ciplukan), naga sakti (capung), siwil-siwil (bunga yang bisa berputar seperti baling-baling dan bisa dibuat mainan), cenggeretnong (hewan yang selalu berbunyi tapi diam saat didekati), air liur dewa (lumut yang menempel di bebatuan), naga dalam pipa (kupu-kupu kecil yang larvanya hidup di air tawar).
Burung-burung dicatat saat muncul. Makhluk-makhluk yang ditangkap sementara untuk dilihat dipamerkan di baki-baki plastik. Botol besar menyimpan berudu dan katak untuk beberapa waktu agar bisa dilihat. Botol yang lebih kecil memungkinkan untuk bisa memperhatikan jentik-jentik dan anak serangga yang belum bisa terbang, yang bersembunyi di balik bebatuan di dalam kolam. Berusaha bertindak hati-hati untuk menghormati integritas bentuk-bentuk kehidupan itu. Semuanya diperlakukan dengan "penuh kehormatan dan kasih sayang", sehingga kita dapat belajar dari berbagai makhluk, dan memperlakukan mereka sebagai teman—bahkan makhluk-makhluk yang tampangnya aneh dan menakutkan sekalipun.
Sifat-sifat yang muncul dari bentuk perhatian terhadap alam seperti di atas itulah yang banyak hilang dan kurang diperhatikan pemerintahan kita dewasa ini, sehingga bila tidak ada tindak lanjutnya bisa menciptakan pemimpin-pemimpin yang tidak ada rasa hormat terhadap lawan politik sampai menghalalkan segala cara; tiada kasih sayang terhadap rakyat, sampai menaikkan harga pokok sesuka hati; stres berlebihan karena semua dianggap musuh yang menakutkan; tiada inovasi kreatif dan berani demi kemajuan bangsa.
Pendidikan yang membentuk pikiran jauh berefleksi, eksplorasi, kreatif, dan analisis secara alamiah inilah yang semakin terenggut dengan adanya sikap meremehkan terhadap lingkungan, khususnya pada generasi muda. Karena sistem otak-pikiran kita merupakan turunan sistem alam. Semua indra dan pengindraan kita berkembang dari sapuan proses alam yang berlangsung selama ribuan tahun. Setiap kunjungan ke alam mengembalikan kemampuan kita untuk menjadi manusia utuh.
Dan yang perlu diingat, jangan sampai menunggu kecemburuan alam tersebut menjadikan ia 'cemburu' buta hingga menimbulkan bencana.
Fakta mengenai kediktatoran Orba telah banyak terbukti, namun tidak hanya berhenti sampai di situ, karena meskipun lagu-lagu atau sosialisasi mengenai isu lingkungan jarang digembar-gemborkan ternyata memang alam ini seakan sudah teramat cemburu menunggu belaian manusia pilihan yang semoga menjadi pemimpin negeri impian.
Bagaimana tidak cemburu, hutan, kolam-kolam ikan, maupun persawahan tidak ada lagi yang mau melirik terhadapnya, bahkan teriakan-teriakan kecil anak-anak yang pada masa dulu sering terdengar riang menikmati alam pun kini menghilang seakan mereka dipaksa hanya menjalani pendididikan dengan doktrin-doktrin positivismenya demi mengarungi kehidupan industrialisme. Anak-anak bahkan orang tua sekarang tidak mampu lagi memuaskan rasa ingin tahu mereka dan tidak terdorong lagi untuk menyentuh, membaui, dan bermain dengan setiap medium yang mereka temui.
Kondisi seperti ini tentu jauh berbeda dengan yang penulis ataupun orang tua zaman sekarang alami saat masih kecil, saat-saat dapat menghabiskan waktu dengan fantasi miniatur, saat membayangkan daun talas yang mengambang di atas kolam sebagai sebuah pulau yang terombang-ambing di tengah lautan, saat mengawasi binatang-binatang di air bergerak keluar masuk dan membayangkan mereka sebagai penghuni kota. Dengan kemuliaan dari orang tua, anak-anak mendapatkan kebebasan dalam menciptakan nama sendiri, seperti kontol robyong (tumbuhan yang persis ciplukan), naga sakti (capung), siwil-siwil (bunga yang bisa berputar seperti baling-baling dan bisa dibuat mainan), cenggeretnong (hewan yang selalu berbunyi tapi diam saat didekati), air liur dewa (lumut yang menempel di bebatuan), naga dalam pipa (kupu-kupu kecil yang larvanya hidup di air tawar).
Burung-burung dicatat saat muncul. Makhluk-makhluk yang ditangkap sementara untuk dilihat dipamerkan di baki-baki plastik. Botol besar menyimpan berudu dan katak untuk beberapa waktu agar bisa dilihat. Botol yang lebih kecil memungkinkan untuk bisa memperhatikan jentik-jentik dan anak serangga yang belum bisa terbang, yang bersembunyi di balik bebatuan di dalam kolam. Berusaha bertindak hati-hati untuk menghormati integritas bentuk-bentuk kehidupan itu. Semuanya diperlakukan dengan "penuh kehormatan dan kasih sayang", sehingga kita dapat belajar dari berbagai makhluk, dan memperlakukan mereka sebagai teman—bahkan makhluk-makhluk yang tampangnya aneh dan menakutkan sekalipun.
Sifat-sifat yang muncul dari bentuk perhatian terhadap alam seperti di atas itulah yang banyak hilang dan kurang diperhatikan pemerintahan kita dewasa ini, sehingga bila tidak ada tindak lanjutnya bisa menciptakan pemimpin-pemimpin yang tidak ada rasa hormat terhadap lawan politik sampai menghalalkan segala cara; tiada kasih sayang terhadap rakyat, sampai menaikkan harga pokok sesuka hati; stres berlebihan karena semua dianggap musuh yang menakutkan; tiada inovasi kreatif dan berani demi kemajuan bangsa.
Pendidikan yang membentuk pikiran jauh berefleksi, eksplorasi, kreatif, dan analisis secara alamiah inilah yang semakin terenggut dengan adanya sikap meremehkan terhadap lingkungan, khususnya pada generasi muda. Karena sistem otak-pikiran kita merupakan turunan sistem alam. Semua indra dan pengindraan kita berkembang dari sapuan proses alam yang berlangsung selama ribuan tahun. Setiap kunjungan ke alam mengembalikan kemampuan kita untuk menjadi manusia utuh.
Dan yang perlu diingat, jangan sampai menunggu kecemburuan alam tersebut menjadikan ia 'cemburu' buta hingga menimbulkan bencana.
0 komentar:
Post a Comment