Oleh: Ika Maya Susanti
Semua bermula dari saat kulihat Ibu bersantai lama di teras rumah pada suatu petang. Ini sungguh jarang terjadi, karena biasanya seusai maghrib, Ibu selalu memilih untuk mematung menyaksikan sinetron di televisi. Dan uniknya, saat itu Ibu justru berada di bangku panjang rebah di balik pagar yang tak bercelah. Meski pandangan yang terbatas tak dapat melihat ke luar, namun tatapan Ibu seperti menembus pembatas hijau milik pagar itu.
“Ada apa dengan Ibu? Tumben!” kata batinku bertanya.
Penasaran, kutanyai Ibu, dengan pertanyaan “Sedang apa?” Wajah Ibu saat itu kudapati tampak khusyuk menembus pembatas pagar. Tentu saja seperti melihat sesuatu yang tak bisa terlihat mata. Tergagap, Ibu pun menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala. Tapi, ada seraut ekspresi yang tak bisa kutangkap gerangan apa di wajah Ibu.
Kupandangi seberang rumah yang masih riuh dengan suara anak-anak kecil menderas bacaan Qur’an. Oh, mungkin Ibu sedang menikmati celoteh kecil Arsa atau Kiki, anak-anak tetanggaku usia TK yang memang terkenal kerap berulah lucu jika sedang mengaji.
Kembali ku masuk, namun beberapa menit kemudian lagi, kudekati Ibu di luar rumah. Ternyata, Ibu tak berada sedang merebahkan dirinya di kursi panjang itu lagi. Tak ada satu pun orang yang bisa ku tanya. Namun suara Ibu di seberang rumah, menjadi jawabannya. Ibu ada di rumah Bu Sam, tetanggaku. Masih juga aku bertanya, sungguh petang yang tak biasa bagiku ketika melihat Ibu demikian.
Dan jawabannya, akhirnya kudapati juga di beberapa waktu selanjutnya. Usai dari rumah Bu Sam, wajah Ibu tampak berseri-seri. Namun tidak semeriah ketika usai mendapatkan arisan. Dalam setengah berbisik, Ibu berkata lamat-lamat, “Mbak, mulai besok, Ibu mau ngaji di tempat Bu Sam. Ibu minta ngaji dari awal saja. Nggak pa pa wes kalau dari alif ba’ ta’. Yang penting bacaannya bener!” kabar gembira itu Ibu sampaikan padaku.
Sungguh hal yang tak ku kira. Karena selama ini, sebetulnya aku sedikit kecewa ketika Ibu ku ajak mengaji di rumah sakit tempatnya kerja, namun Ibu selalu tak mau. Alasannya karena tak dapat mengikuti kecepatan ritme bacaan para peserta pengajian. Tapi kini, Ibu berinisiatif untuk belajar mengaji di rumah tetanggaku yang selama ini kerap membelajari anak-anak kecil membaca Al Qur’an.
Sebetulnya sejak aku kembali dari Batam usai sekian tahun lamanya meninggalkan rumah, aku cukup senang ketika bisa membelajari Ibu membaca Qur’an. Waktu itu, Ibu sendiri yang meminta kepadaku. Seusai maghrib, kami pun menekuni Al Qur’an di pangkuan masing-masing. Ibu yang membaca dengan bersuara, aku yang menyimak membetulkan. Waktu itu rasanya menyenangkan sekali. Tak menyangka, ternyata pilihanku untuk kembali hidup dekat dengan orang tua menjadi alasan Tuhan yang memintaku untuk membenahi bacaan Qur’an Ibu.
Sayang, kebiasaan itu hanya berjalan beberapa hari. Aku kerap memilih menekuni lembaran-lembaran target bacaanku Qur’anku sendiri. Sedang Ibu, menjadi kembali asyik dengan tayangan sinetron di televisi. Cengkrama bersama kami dengan Qur’an tak berlanjut lagi.
Dan kini, Ibu ingin belajar kembali, dengan seorang wanita yang memang sangat mengerti bagaimana membaca Qur’an. Di hari pertama, Ibuku melapor jika ternyata ia tak harus memulai dari Iqra’ jilid 1. Menurut analisa Bu Sam yang disampaikan Ibu padaku, Ibu hanya tinggal membenahi tajwid dan membaca secara lancar saja.
Sayangnya, ayahku tak begitu menyepakati apa yang dilakukan Ibu. Menurut Ayah, kenapa Ibu tak belajar di rumah saja denganku. Mungkin Ayah malu, istrinya masih belajar mengaji dengan cara mengeja, bahkan kalah dengan anak-anak kecil di sesi usai maghrib yang telah khatam Qur’an beberapa kali. Terlebih lagi, suara Ibu yang sedang membaca Qur’an memang terdengar lantang ke sana sini.
Tapi Ibu tak peduli. Bahkan yang ada, malah makin bersemangat. Menurut Ibu yang masih disalinnya dari perkataan Bu Sam, sebetulnya ada banyak para tetangga yang juga kurang bisa lancar membaca Qur’an seperti Ibu.
“Malah, Pak Mu’in itu dulunya yo nggak bisa lancar baca Qur’an juga kok, Mbak. Tapi karena ditunjuk jadi pengurus mushola, Pak Mu’in yang waktu itu masih dinas di Surabaya, belajar sama orang di sana. Lama-lama yo buktinya bisa lancar baca dan sering jadi imam di mushola,” kata Ibu dengan semangat membela dirinya.
Semangat Ibu memang terbukti. Kerutinannya mengaji di Bu Sam berbuah seorang teman yang juga berumah sebagai tetanggaku. Bu Joko, yang biasanya kerap ikut tadarus usai tarawih di mushola ketika bulan Ramadan, menjadi teman belajar Ibu di Bu Sam setiap usai shalat Isya’.
Kini hampir sebulan Ibu rutin mengaji. Suatu ketika, barulah ku tahu apa yang sebenarnya menjadi satu dari sekian target Ibu untuk belajar membaca Qur’an. “Moga-moga nanti pas bulan puasa, Ibu bisa ikut tadarus di mushola,” kata Ibu dengan wajah sumringah.
Aku jadi teringat kejadian satu bulan puasa tahun lalu, yang menjadi saat pertama dalam hidupku mengikuti tadarus di mushola dekat rumah. Bu Sam memang sempat mengeluh, karena malam-malam tadarus terutama untuk para wanita, hanya dihidupkan oleh segelintir orang saja. Paling-paling, hanya aku dan sekitar lima orang remaja yang menjadi pengisinya. Untuk ibu-ibunya, hanya Bu Sam dan dua orang ibu-ibu lainnya. Belum lagi ketika masa halangan menjangkiti kami para wanita atau masa-masa mendekati akhir dari bulan ramadan. Absen ketidakhadiran jadi makin meningkat!
Kata-kata Ibu yang kudengar itu pun membuatku tersenyum. Yah, semoga malam-malam tadarus nanti ada pertambahan pasukan yang membuat lantunan Qur’an makin meriah kala beradu dengan mushola-mushola lain yang ada di lingkungan perumnas kami. Paling tidak, satu orang yaitu ibuku itulah yang bisa menjadi pasukan barunya!
(Berdasarkan kisah nyata sendiri. Intinya, yuk kita sama-sama melihat sekeliling atau diri sendiri, makin dekat ramadan, kira-kira apa ya yang bisa kita persiapkan untuk bulan suci tersebut?) :)