“Cobalah Sas, untuk pacaran,” terngiang-ngiang ucapan Lando tempo hari ketika kami sama-sama melakukan liputan jelajah pulau ke Subang Mas.
Aku tertawa kecil mengingatnya. Oke Lando, mungkin sebentar lagi akan ada berita dariku sesuai dengan permintaanmu dulu. Aku, seorang Saskia, akan segera mengakhiri kesendirian yang kujaga selama ini.
Yup, hingga usiaku yang hampir melewati seperempat abad, di zaman yang sudah melewati angka 2000, mungkin jarang ada orang percaya bila masih ada seorang wanita yang belum pernah pacaran sekalipun di usia sejauh itu. Tapi itu memang benar adanya terjadi padaku.
Kucermati bayangan tubuhku dalam pantulan cermin. Mengoreksi detail demi detail bagian wajah, tubuh, dan penampilan total diriku. Kadang geli juga. Ku akui aku tak pernah sebegini heboh mempersiapkan diriku demi apapun itu. Bahkan pada hari pernikahan adikku sekalipun.
Senyum kecilku mengembang bila teringat bagaimana terkejutnya Lando mengetahui hal itu.
“Apa, adikmu malah sudah nikah duluan?!” Lando sempat tak percaya saat kuceritakan tentang adikku yang sudah menikah lebih dulu beberapa bulan yang lalu. “Bukannya dalam adat Jawa itu katanya pamali?” ujar pria kelahiran Manado yang kini menjadi partnerku sebagai kameramen selama liputan jelajah pulau.
Aku cuma tertawa. “Terus salahnya dimana? Lha kalau memang dia yang lebih dulu diberi rezeki jodoh, masa iya mau aku tahan. Demi sebuah kepercayaan, kalau adik cowok melangkahi kita sebagai kakak perempuan, kitanya yang akan seret jodoh?!” aku mengibaskan tanganku.
Masih ku ingat tatapan takjub sosok yang menjadi sahabat karibku sejak ia dan aku sama-sama bekerja di sebuah stasiun televisi lokal Batam. “Tapi lihat sekarang Ndo, sebentar lagi akan ada yang berubah,” gumamku sendirian sembari berlalu, mengakhiri acara dandanku.
Malam ini mungkin menjadi malam yang istimewa untukku. Beberapa kilometer dari tempatku berpijak sekarang, beberapa menit dari detik ini, aku akan mengiyakan permintaan seorang cowok yang telah begitu lama menantiku.
“Sampai kapan Saski, sampai berapa kali aku harus meminta kesedianmu,” wajah putus asa Roni masih tersimpan dalam memoriku. Lelaki itu kukenal awalnya sebagai narasumberku. Namun ternyata perkenalan kami berlanjut hingga pertemanan yang memunculkan simpati dirinya untukku.
Dan saat itu aku cuma termenung bingung. Begitu besar keyakinanku untuk terus sendiri. Namun aku pun teringat betapa banyak diskusi yang telah kulakukan dengan Lando hingga harapannya agar aku segera memiliki pasangan terjadi.
Wajah Roni kala itu masih menatap harap. “Yang terakhir Saski, setelah itu okelah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Tiga hari lagi, Sabtu malam nanti, aku ajak kamu untuk dinner di Restoran Sanur. Jika kamu memang memenuhi harapanku, pergilah bersamaku. Jika tidak, aku akan menyerah untuk tidak akan mengusikmu dengan pertanyaan ini lagi. Bagaimana?”
Mataku mengerjap-kerjap. Tak bisakah kita berjalan bersama tanpa adanya ini? Sama halnya seperti kedekatanku dengan Lando yang tak mengharapkan pamrih apapun. Tapi… “Oke, tidak perlu engkau jemput. Aku akan sendiri. Tapi jika aku tak datang, masih kumohon anggaplah aku sebagai temanmu. Meski aku tidak bisa memenuhi harapanmu untuk mengikat kasih.”
Ku buka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang setir. Sekilas terlihat olehku bayangan wajahku masih nampak legam akibat sunburn. Memang baru minggu lalu aku mendapat tugas liputan dengan Lando ke Pulau Subang Mas. Dan ternyata kelam di wajahku masilah belum sempurna pulih. Begitu juga ingatanku akan cerita Mak Zizah, ibu RW tempat kami menginap selama liputan jelajah pulau di Kepulauan Riau.
“Suami Mamak dulu sebetulnya bukan Pak Along yang kalian kenal sekarang ini. Ini suami kedua mamak. Mamak dulu pernah cerai,” aku Mak Zizah.
Aku terkejut. Di zaman dulu seperti itu, di pulau yang belum begitu tersentuh moderenisasi seperti daerah lain ini, sudah adakah yang namanya perceraian? Wah… wah…, aku takjub.
“Iye, Mak punye cerite macem gini, dulu Mamak dijodohin same orangtue Mamak. Namanye anak, ya Mamak ini nurut saje. Mamak tak kenal calon suami Mamak siape, pokoknye Mamak diminta nikah. Yah, tapi itulah kalau kite tak tahu baik siape jodoh kite. Ternyata, suami Mamak itu kejam kali sama Mamak. Huh, habislah Mamak sering dipukulnye,” cerita Mamak.
Wanita yang sudah berusia setengah abad itu lalu meneruskan ceritanya. “Ade teman Mamak beri tahu, lebih baik Mamak cerai saje. Mamak pikir, benar juge tak ape, Mamak masih mude. Buat ape Mamak sengsare lame sama orang tak beri sayang Mamak.”
Aku mengernyitkan alis. “Ih Mak, Saski pikir zaman dulu tak ada lho yang namanya orang cerai. Aku pikir semua orang itu rukun-rukun hidupnya walaupun nikah hasil dijodohkan orang tua.” Manalagi aku selalu berpikir tidak akan mau pacaran dan bahkan, terbersit juga keinginan untuk tidak menikah.
“Ah, siape nak cakap macem gitu. Makanya kalau bise, Saski kenal baik dulu lah calon suami Saski. Jangan asal nikah macem Mamak,” saran Mak Zizah.
Ternyata melamun itu membuat perjalanan mobilku tidak terasa berlalu. Tiga tikungan lagi, restoran yang aku tuju segera nampak. Tapi, hehh, aku menghela nafas.
“Sebetulnya kenapa sih kamu nggak pernah mau pacaran?” pertanyaan Lando entah untuk yang keberapa mengusikku sekali lagi kala itu.
Aku sendiri yang disodori pertanyaan itu justru terdiam bingung.
“Halooo?!” Lando meminta perhatian.
“Bingung Ndo mau jawab apa,” cuman itu akhirnya yang keluar.
“Kamu pernah patah hati karena cowok? Atau yang paling parah pernah dilecehkan oleh cowok? Kamu juga nggak lesbi kan?” dari pertanyaan biasa sampai yang bernada menuduh dihujamkan Lando padaku.
Sekali lagi aku cuma melongo bingung. Karena buatku alasan itu terlalu komplek namun biasa. “Apa ya… Sepele saja sih Ndo alasannya. Aku terlalu lama untuk melakukan apa-apa sendiri. Pacaran itu membuat aku harus membagi waktu, perhatian, sayang, dan juga duit,” kataku bercanda sok kikir.
“Terus kalau nggak mau pacaran, bagaimana kamu bisa mengenal orang yang akan menikah denganmu? Aku saja yang kupikir sudah merasa cocok dengan pacarku dan bersiap-siap untuk menikah, ternyata selalu saja mengalami ketidakcocokan. Bingung juga mau cari pasangan yang seperti apa nantinya,” keluh Lando sendirian. “Eits, jangan-jangan kamu nggak mau menikah juga?” Lando terkejut khawatir.
Tawaku meledak. Sesaat, namun terdiam dengan sadar yang baru kudapatkan. “Ya Ndo, bahkan untuk menikah pun tidak terpikirkan olehku. Orangtuaku fine-fine saja sih. Hehe, mungkin belum kali ya.”
Lando menggeleng-gelengkan kepalanya. “Wah, kayaknya kamu sudah kebanyakan hidup di kota besar macam Batam begini nih. Ya, jangan begitu lah.”
“Yah, lihat saja deh nanti. Pokoknya sejauh ini aku masih merasa baik-baik saja kok dengan kondisiku seperti ini. Kecuali mungkin nanti berubah kalau aku bertemu cowok yang klik barangkali ya?” aku mulai tidak optimis dengan pendirianku. Yah daripada nanti kualat sama omongan sendiri.
Restoran yang kutuju benar-benar kini sudah di depan mata. Setelah memarkirkan mobilku, aku justru termenung. Di seberang mobilku, ku tahu sedan metalik bernomor BM 1510 XX itu milik Roni. Pukul 19.45 WIB, aku sudah telat 15 menit dari janji kami berdua. Ah, dan betapa tepat waktunya Roni yang kini pastinya telah menunggu di dalam sana.
Bimbang itu menyergap diriku lagi. Tapi, ya ampun Saskia, ini kan cuma masalah iya atau tidak pacaran saja. Kenapa sebegitu paniknya diriku!
Namun sisi hatiku yang lain mengajak berdebat. Tapi coba akibatnya nanti apa, kemana-mana harus pamit nantinya, ini itu nggak bisa cuek lagi, apa ini yang aku inginkan? Langsung terbayang bagaimana waktu sendiriku yang banyak kulakukan untuk membaca dan menulis seperti hobiku sejak dulu harus terkurangi. Tidak terbayang juga jika nanti justru Roni akan sedikit-sedikit mengkhawatirkanku jika aku mendapat tugas liputan malam atau ke tempat yang jauhnya minta ampun. Duh, pasti nggak seru lagi!
“Kamu nggak bisa terus hanya membagi perhatian dan sayang itu dengan teman dan keluarga Sas,” suara Lando yang dulu pernah mampir ke telingaku tiba-tiba ikut-ikutan memberiku pertimbangan.
“Tuhan, beri aku petunjuk,” pintaku menggumam.
Aku langsung turun dari mobil dan berjalan pasti masuk ke dalam restoran. Begitu melihat Roni senyumku langsung merekah terkesima. Sayang sekali mungkin jika ada wanita yang begitu menyia-nyiakan perhatian dan ketulusan perasaaan seorang Roni yang banyak membuat para wanita terpikat.
Begitu melihatku, Roni langsung berdiri. “Terimakasih Saski, kamu betul-betul datang,” ujarnya seraya menarik kursi untukku duduk.
Sesaat aku membuang lirikan pandangan ke kanan. Jikalau Roni tahu ilmu bahasa tubuh, seharusnya ia bisa menebak apa yang sedang terjadi padaku. Sebuah rencana yang mungkin tak akan pernah dilupakannya.
Kursi untukku masih menunggu tubuhku untuk kududuki. Namun sayangnya aku tidak memilih tindakan itu. “Maafkan aku Roni, mungkin semua ini sudah begitu berharga untukmu. Mulai dari restoran ini, waktu yang kau sediakan untukku, sampai kesediaanmu hingga saat ini menungguku. Namun…” wajahku sesaat pucat menahan rasa.
“Ada apa Sas? Kamu sedang tidak enak badan,” Roni menggenggam tanganku. “Ayolah, duduk dulu.”
Ku teruskan ucapanku yang terputus. “Aku memang datang Roni, sekarang ada di hadapanmu. Tapi hanya untuk meminta maaf demi apa yang selama ini telah aku lakukan. Dan aku ingin katakan kalau aku masih belum siap untukmu, juga untuk menerimamu. Mungkin suatu ketika perasaanku benar-benar tumbuh untukmu ketika mungkin juga sudah tidak ada lagi rasa yang sama seperti sekarang untukku. Sekali lagi maaf, dan belajarlah untuk melupakanku.”
Segera kubalikkan tubuhku dan bergegas berjalan menjauh. Entah apa yang terjadi di balik tubuhku, aku tidak ingin mencoba untuk tahu. Maaf, aku sudah mencoba untuk mempercayai semuanya, Lando, Roni, atau entah siapapun kalian. Tapi aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang aku rasakan atau aku alami. Aku hanya percaya, mungkin besok semua keyakinan dan ketetapan ini bisa berubah, tapi tidak sekarang. Yah, mungkin besok, dan sekarang aku masih belum siap.
**
Bunyi nada dering handphone mengusik lelapku di tengah malam. Aku melirik malas layar handphone yang telah cukup membangunkanku. Ah, ternyata Lando meminta perhatianku untuk membaca kiriman sms darinya.
“Gmn kncanx?”
Aku menguap memuaskan rasa kantukku. “Yg jls, msh te2p single,” balasku yang lalu kuteruskan dengan mematikan handphone.
Dan, ah, tiba-tiba sebuah ide nakal terbersit dalam alam setengah sadarku. Bagaimana ya bila aku jadian dengan Lando saja?