“Bu, Mimi tadi menangis lagi sewaktu kami semua menyanyi lagu Balonku Ada Lima. Sebetulnya ada apa ya Bu?” terulang pertanyaan yang sama dan selalu kudengar sejak Mimi mengenal kata TK sebagai status pendidikannya tujuh hari terakhir ini.
            Ya, ya, ini sudah hampir seminggu Bu Siti mengadu kepadaku. Besok hari Minggu, dan mungkin seharian besok aku bisa mengulang ingatan untuk menggali tahu, mengapa Mimi selalu menangis saat mendengar lagu tersebut.
            “Mimi sayang, tadi kenapa kok nangis lagi?” kubelai kelam halus rambut putriku satu-satunya itu dalam perjalanan pulang ke rumah setelah aku menjemputnya dari sekolah.
            Bibir putri keduaku malah menjawab dengan gerak makin mengerucut, dan bukannya suara. Jika melihat ini bisa kutebak, tak akan ada jawaban yang dapat dengar. Dengan cairan ingus yang tersisa di hidung, digerakkan hidungnya ke atas hingga sebuah suara tarikan terdengar. Sementara itu, sisa air mata masih nampak mengembun di ujung-ujung bulu matanya. Mimi mengerjap, membuat bekas tangisannya lebih lama membekas.
            Aku turuti kemauan Mimi untuk diam. Akhirnya sesampainya di rumah, kulakukan ritual seperti biasanya. Mengecek ke dapur apakah bibik telah siap dengan masakannya, membantu Mimi berganti baju, dan ini yang mungkin hari ini tidak akan aku lakukan dan aku lewati, menanyakan apa saja kegiatannya tadi di sekolah.
            Teringat perkara yang membuatnya ngambek sampai menangis, akhirnya kupilih untuk langsung mengajaknya ke meja makan. Kupikir ada hal di luar kebiasan yang harus kulakukan. Makanya, hidangan Mimi siang itu kutambah dengan semangkok ice cream. Tentu saja si mungilku itu langsung merubah garis bibirnya dengan senyum.
            “Mama, ini kan baru hari Sabtu. Biasanya baru besok Mimi bisa makan ice cream. Mama nggak sedang lupa kan?” Mimi mengingatkan dengan mata mengerjap-kerjap tanda kegirangan di tengah keasyikannya mengulum sendok demi sendok ice cream.
            Namun demi melihatnya senang, kukatakan saja, “Aih, mama lupa. Tapi yah, Mimi sudah makan ice cremnya tuh,” jawabku pura-pura sungguhan lupa.
            Senyum menangnya mekar. Tapi aku senang. Menurut yang pernah kudengar, ice cream bisa mengembalikan mood seseorang. Itu pun yang kuinginkan ada dari Mimi. Semoga ia kembali riang. Dan semoga aku bisa menemukan jawaban, mengapa ia selalu menagis kala mendengar lagu Balonku Ada Lima.
            Pengaruh makan siang itu akhirnya membuat Mimi mengantuk. Setelah ku tahan dahulu dengan selembar kertas dan krayon untuk beraktivitas, setelah satu jam kurasa cukup untuk pencernaannya, akhirnya Mimi kuperbolehkan tidur. Membiarkannya asyik dengan kebiasaan ini memang sengaja untuk mengembangkan kreativitasnya. Siapa sih orang tua yang tidak bangga jika anaknya suka apalagi sampai berbakat menggambar? Ditambah lagi, besok ia akan kembali mengikuti lomba mewarnai. Lomba yang bisa membuatnya besok malam justru akan tiada henti bercanda dengan kertas dan crayonnya.
            “Supaya besok kalau ada lomba lagi bisa menang Ma. Jadi kita harus terus belajar,” selalu itu yang jadi alasan Mimi usai mengikuti lomba dan kalah, entah nasehat itu ditujukannya untuk siapa. Ah, mungkin itu akan berubah jika ia menang besok, batinku dalam lamunan.
            Namun, astaga, mengapa dengan anakku kali ini? Lebih tepatnya dengan apa yang digambarnya barusan. Selembar kertas yang tadi tidak sempat kuperhatikan kini ada di kedua tanganku. Bukan hanya karena di gambar itu aku melihat seorang anak berkucir dua, yang kurasa Mimi menggambar dirinya sendiri, sedang membawa balon begitu banyak. Namun dalam gambar itu, semua balon berwarna hijau. Gambar yang belum selesai itu begitu menonjol dengan dominasi warna hijau. Hanya ada goresan krayon hitam yang menjadi penegas lekuk bentuk gambar demi gambar.
            Aku terpana, lantas mengeja-eja lagu Balonku Ada Lima. “Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya. Hijau kuning kelabu. Merah muda dan biru. Meletus balon hijau. Door!”
            Ya, seperti lagu itu. Aku teringat, entah mengapa dulu sewaktu aku hamil Mimi, aku begitu kacau jika harus bertemu warna hijau dominan. Baju hijau, rumput hijau, daun hijau, dan segala yang dominan hijau. Untung tidak sampai pada membenci sayuran hijau. Entah apalah jadinya Mimi dan rambutnya jika aku tak suka makan sayur.
            Ibuku bilang sayur bagus untuk rambut bayi yang sedang kita kandung. “Nggak doyan sayur nanti rambut anakmu tipis, lho,” pesan ibu.
            Nenek Mimi itu juga mengatakan padaku, “Jangan sampai benci sangat dengan sesuatu. Nanti berkebalikan pada anakmu.” Dan waktu hamil, kuakui aku membenci warna hijau yang dominan. Jangan tanya kenapa, kukira kebiasaan itu karena bawaan bayi yang sedang kukandung, Mimi.
            Suamiku pun tiada hentinya membujukku untuk menyukai warna hijau. “Warna hijau kan sejuk, warna yang alami, warna yang sehat. Malah ada kata orang terapi mata dengan melihat hijaunya daun-daunnya.”
            Tapi tetap saja, yang namanya lagi tidak suka, ya tidak. Kadang apa yang aku alami sewaktu hamil kala itu cukup membuat aku kesulitan. Bayangkan, orang begitu enaknya berekreasi dengan duduk-duduk di bawah pohon yang rindang. Sedangkan aku, bisa mendadak pusing bila campuran  warna biru dan kuning itu melintas meruah di mataku.
            Okelah, kalaupun Mimi sekarang malah begitu menyukai warna hijau. Namun mengapa sampai harus menangis bila mendengar lagu Balonku Ada Lima? Masa iya Senin besok aku harus mengatakan hal ini pada Bu Siti seperti ini, “Bu, waktu menyanyi lagu Balonku Ada Lima, yang dinyanyikan meletus balon kuning saja ya, Bu.” Atau, “Bagaimana kalau balon biru saja, Bu. Biar sama akhiran u-nya dengan kata ‘kacau’?”
            Ya ampun, apa nggak terbahak-bahak nanti Bu Siti dan ibu dari teman-teman Mimi yang lain? Nah lho, terus apa dong yang harus aku lakukan?
            “Mama… balonnya yang hijau jangan dipecah,” ceracau igau Mimi membuyarkan sesaat debat pikirku.
            Tuhan, sebegitu dalamkah makna hijau bagi seorang putriku ini? Sampai ia harus membuat gambar dengan semua balon yang diwarnainya dengan hijau. Betulkah balon hijau yang jumlahnya setelah kuhitung ternyata ada sebelas dalam gambarnya ini sebagai ganti satu balon hijau yang meletus dalam lagu itu?
            Aku menggeleng bingung. Jawaban teka teki ini memang sudah kutemukan. Namun justru kini aku belum bisa menemukan cara menggunakan jawaban itu.
**
            MALAMNYA, saat kuceritakan hal itu kepada suamiku, justru kami terbawa arus debat sibuk menerka-nerka. Kenapa balon yang meletus dalam lagu itu harus yang warnanya hijau.
            “Mungkin karena ditiup paling awal. Yang lebih dulu ada makanya ia meletus lebih cepat,” jawab suamiku asal namun bisa dinalar.
            “Ah Pa, kenapa kita jadi tebak-tebakkan begini. Sekarang solusinya seperti apa?” sahutku tak sabaran.
            Sungguh, aku rasanya harus berekspresi apalagi jika Bu Siti kembali mengutarakan hal yang sama waktu aku menjemput Mimi. Sebagai orangtua, tentunya aku pun tak tahan jika terus menerus melihat putriku berlinang air mata setiap kali pulang sekolah. Jadi apa jalan keluarnya?
            “Usulkan saja untuk menyanyikan lagu Balonku Ada Lima sampai ceritanya semua balon di lagu itu meletus,” kembali jawaban asal namun rasional itu terlontar dari suamiku.
            “Iya, ya,” aku mengangguk-angguk seperti terlintas sebuah ide cemerlang. “Mereka jadi belajar menghitung dan menghapal balon apa saja yang sudah meletus,” gumamku.
            “Nah, sudah nggak pusing lagi kan Senin besok?” Aku menggeleng tersenyum menatap suamiku. Meski aku masih tidak tahu tepatnya mengapa balon hijau harus meletus lebih dulu, tapi setidaknya kini aku tahu cara agar Mimi tidak menangis lagi bila mendengar lagu Balonku Ada Lima.
**
            DUA HARI kemudian aku bisa melangkahkan kaki ringan kala mengantar Mimi ke sekolah. Aku tidak perlu khawatir dengan tangis Mimi. Malahan, usulku nanti bisa membantu Bu Siti untuk mengajar anak-anak kan?
“Oh, begitu ya Bu, ceritanya,” Bu Siti mengangguk anggukkan kepalanya ketika kusampaikan gagasanku. Anggukan kepalanya makin yakin ketika ia mendengar alasan usulku tersebut yang menurutku, bisa mencerdaskan anak-anak karena belajar mengingat dan menghitung.
Akhirnya, khusus hari Senin itu aku menunggui Mimi di sekolah. Sampai satu jam waktu belajarnya aku masih bisa melihatnya tersenyum. Aku jadi teringat bagaimana aku mengajak Mimi selama dua jam untuk menyanyikan lagu Balonku Ada Lima saat hari Minggu kemarin.
Yah…, awalnya seperti yang kuduga, ia menangis memprotes.
“Mama, jangan nyanyi lagu itu,” rengeknya kesal.
“Eits, dengarkan dulu. Lagu yang ini nggak seperti yang dinyanyikan bu guru di sekolah kok,” bujukku.
Mimi tetap menangis. Kakinya menendang-nendang dalam posisi duduknya. Tapi aku tidak peduli. Setelah satu lagu Balonku Ada Lima berisi balon hijau yang meletus, aku mengulang lagu itu kembali.
“Mi, habis balon hijau tadi, warna balonnya apa lagi?”
“Nggak tahu!” Mimi membuang wajahnya kesal di sela-sela isak tangisnya.
Aku malah tersenyum geli melihatnya ngambek. Tapi dengan cueknya, kunyanyikan lagi lagu tersebut.
“Meletus balon kuning. Dorr! Hatiku sangat kacau.”
Mimi ikut terkejut.
“Balon ku tinggal tiga. Kupegang erat-erat,” kulirik Mimi yang menurunkan nada tangisnya. Lagu itu kembali kuulang yang tentunya giliran balon berwarna kelabu kemudian yang meletus.
Tiba giliran dimana lagu tersebut meletuskan balon merah muda, Mimi sudah mulai bisa sedikit-sedikit mengikuti nyanyianku. Dan begitulah, setelah beberapa kali menyanyi, wajah gembira Mimi sudah berseri.
**
YA, SAAT-SAAT mendebarkan itu akhirnya tiba di setengah jam akhir waktu Mimi di sekolah.
“Anak-anak, sekarang waktu pulang. Tapi sebelum pulang kita nyanyi dulu yuk. Ibu punya lagu baru nih,” Bu Siti seperti biasanya sewaktu pulang sekolah kembali mengajak murid-muridnya untuk menyanyi.
“Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya.”
Belum sempat lagu itu selesai, Biyan, kawan Mimi yang duduk di bangku paling depan memprotes. “Ibu guru bohong. Katanya lagu baru.”
Bu Siti menghentikan senandungnya. “Eit, coba dengarkan dulu.” Kemudian apa yang kemarin kulakukan pada Mimi kini selanjutnya diulang oleh Bu Siti di depan kelasnya.
Tentu saja, Mimi menjadi penjawab yang paling keras suaranya, paling pertama menjawab, dan tentunya paling benar. Di waktu pulang, dengan menggandeng tanganku Mimi berceloteh lebih dulu.
“Mama tahu nggak kenapa balon hijau meletus duluan?”
Aku menoleh ke arah Mimi bingung. “Mungkin karena ditiup paling awal. Jadi karena ia lebih dulu ada makanya ia meletus lebih cepat,” jawabku teringat perbincangan dengan suamiku dua hari lalu.
“Salah Ma. Karena hati kita sedang kacau, makanya yang meletus duluan warna hijau. Coba kalau kitanya lagi marah-marah, mungkin warna merah yang duluan. Terus kalau hati kita lagi senang, mungkin malah jadi balon kuning yang meletus duluan,” jawab Mimi.
Aku menatap wajah mungil putriku penasaran. “Tahu darimana?”
“Kemarin waktu lomba menggambar, Mimi sempat tanya ke kakak-kakak yang kemarin jadi panitia. Katanya jawabannya kayak begitu.”
Aku melongo terkejut. Kok ya sempat-sempatnya dia bertanya ke orang-orang di sekitarnya.
“Makanya Mimi tadi nggak nangis lagi. Kan Mimi sudah tahu jawabannya kenapa kok balon hijau yang meletus duluan. Tapi Ma, yang penting Mimi sekarang senang karena semua balon bisa adil meletus semua,” ujarnya mengangguk-angguk yakin.
Aku membatin, jadi bukan karena ideku merubah lagu ya?