Sebagian besar dari kita pernah merasakan manfaat dari kegiatan praja muda karana (pramuka) tetapi hanya sebagian kecil yang tahu persis potensi dan manfaatnya. Faktor penyebabnya beragam, mulai faktor eksternal persepsi publik tentang gerakan pramuka yang (hanya) sekadar tepuk-tepuk tangan hingga faktor internal seperti minimnya publikasi kegiatan pramuka di media massa.
Bahkan sedikit orang yang tahu bahwa pada usianya yang ke-50 pada tahun ini, Gerakan Pramuka Indonesia (Indonesia Scout Movement-http://www.pramuka.or. id/) merupakan satu-satunya gerakan kepanduan di Indonesia seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
Dengan potensi SDM yang lebih beragam, publik boleh berharap ke depan kita akan melihat wajah anggota pramuka yang lebih baik. Sebagai lembaga pembentuk karakter, pramuka mempunyai beberapa potensi yang tidak banyak diketahui oleh publik secara luas. Salah satunya adalah pramuka luar biasa (PLB).
Pramuka luar biasa adalah sebutan bagi anggota pramuka yang berkebutuhan khusus, berbeda dari pramuka ’’biasa’’. Penyelenggaraan kegiatan PLB bernaung di bawah gugus depan luar biasa. Baik yang melingkupi semua jenis ketunaan, atau hanya satu jenis ketunaan tergantung spesifikasi masing-masing sekolah luar biasa (SLB). Pembina dan pedoman pembinaannya disesuaikan dengan masing-masing ketunaan. Bahkan syarat kecakapan khusus (SKU) pramuka luar biasa, disesuaikan dengan ketunaan masing-masing (PP Nomor 272 Tahun 1993).
Namun, jika ketunaan yang dimiliki tidak berat, kegiatan PLB dapat dilakukan dalam gudep terpadu dan inklusif, gudep biasa yang sebagian anggotanya pramuka berkebutuhan khusus atau mempunyai gangguan fisik, emosi, perilaku, dan sosial. Melalui gudep ini, pramuka luar biasa dididik secara sama bersama-sama anggota pramuka yang lain.
Di Jawa Tengah, sinergi semacam ini pernah dilakukan dalam Raimuna Daerah di Cilacap tahun 2009, karena perkemahannya juga melibatkan anggota pramuka luar biasa. Adanya gugus depan luar biasa membuktikan bahwa pramuka luar biasa juga mempunyai hak, kewajiban, peran, dan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Minat atas Gerakan Pramuka memang selayaknya tidak dibatasi oleh keterbatasan yang dimiliki manusia, baik keterbatasan yang bersifat fisik, emosi, perilaku, maupun sosial. Selama seorang anak masih terhimpun dalam usia siaga, penggalang, penegak, pandega, statusnya tetap menjadi peserta didik pramuka.
Menyikapi Peluang
Salah satu SLB yang berhasil mengembangkan pramuka luar biasa sebagai pilihan kegiatan ekstrakurikuler adalah SLB Negeri Semarang. Sebagai lembaga pendidikan formal yang khusus mendidik anak-anak yang mempunyai kelainan, sekolah ini berhasil membuktikan bahwa di tengah keterbatasan itu tersimpan potensi luar biasa yang dapat digali oleh setiap orang.
Berbicara tentang pramuka luar biasa, kita mengenal beberapa kategori anak berkebutuhan khusus berdasar ketunaannya, antara lain tunanetra, tuna ungu-wicara, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Dalam pramuka luar biasa pun, kategorinya dibedakan antara lain menjadi kelompok A (tunanetra), B (tunarungu), C (tunagrahita), D (tunadaksa), dan E (tunalaras). Pembedaan ini memengaruhi pola penyampaian materi kepramukaan.
Bagi anggota pramuka biasa, sandi hanya dimaknai sebagai media pembelajaran yang dapat melatih ketelitian, daya ingat, kecerdasan, dan konsentrasi. Sementara bagi pramuka luar biasa, sandi merupakan alat komunikasi yang nyata, bukan hanya sekadar simulasi. Bagi tunanetra misalnya, media yang paling efektif sebagai sarana pengirim pesan adalah suara. Maka proses transformasi materi dapat dilakukan dengan sandi morse melalui media peluit.
Berbeda halnya bagi anggota pramuka tunarungu dan wicara, yang menggunakan cahaya atau bahasa isyarat sebagai media komunikasi. Bagi kategori ini, materi kepramukaan seperti semafor mempunyai nilai tambah yang tidak dirasakan oleh pramuka biasa. Kesadaran akan potensi Gerakan Pramuka ini seharusnya terus diapresiasikan agar anggota pramuka lebih peka menyikapi peluang. (Sumber: Suara Merdeka, 4 Juni 2011).
Tentang penulis:
Rahmi Nuraini, anggota DKD Pramuka Kwarda 11 Jateng, alumnus Jurusan Komunikasi FISIP Undip
Bahkan sedikit orang yang tahu bahwa pada usianya yang ke-50 pada tahun ini, Gerakan Pramuka Indonesia (Indonesia Scout Movement-http://www.pramuka.or. id/) merupakan satu-satunya gerakan kepanduan di Indonesia seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
Dengan potensi SDM yang lebih beragam, publik boleh berharap ke depan kita akan melihat wajah anggota pramuka yang lebih baik. Sebagai lembaga pembentuk karakter, pramuka mempunyai beberapa potensi yang tidak banyak diketahui oleh publik secara luas. Salah satunya adalah pramuka luar biasa (PLB).
Pramuka luar biasa adalah sebutan bagi anggota pramuka yang berkebutuhan khusus, berbeda dari pramuka ’’biasa’’. Penyelenggaraan kegiatan PLB bernaung di bawah gugus depan luar biasa. Baik yang melingkupi semua jenis ketunaan, atau hanya satu jenis ketunaan tergantung spesifikasi masing-masing sekolah luar biasa (SLB). Pembina dan pedoman pembinaannya disesuaikan dengan masing-masing ketunaan. Bahkan syarat kecakapan khusus (SKU) pramuka luar biasa, disesuaikan dengan ketunaan masing-masing (PP Nomor 272 Tahun 1993).
Namun, jika ketunaan yang dimiliki tidak berat, kegiatan PLB dapat dilakukan dalam gudep terpadu dan inklusif, gudep biasa yang sebagian anggotanya pramuka berkebutuhan khusus atau mempunyai gangguan fisik, emosi, perilaku, dan sosial. Melalui gudep ini, pramuka luar biasa dididik secara sama bersama-sama anggota pramuka yang lain.
Di Jawa Tengah, sinergi semacam ini pernah dilakukan dalam Raimuna Daerah di Cilacap tahun 2009, karena perkemahannya juga melibatkan anggota pramuka luar biasa. Adanya gugus depan luar biasa membuktikan bahwa pramuka luar biasa juga mempunyai hak, kewajiban, peran, dan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Minat atas Gerakan Pramuka memang selayaknya tidak dibatasi oleh keterbatasan yang dimiliki manusia, baik keterbatasan yang bersifat fisik, emosi, perilaku, maupun sosial. Selama seorang anak masih terhimpun dalam usia siaga, penggalang, penegak, pandega, statusnya tetap menjadi peserta didik pramuka.
Menyikapi Peluang
Salah satu SLB yang berhasil mengembangkan pramuka luar biasa sebagai pilihan kegiatan ekstrakurikuler adalah SLB Negeri Semarang. Sebagai lembaga pendidikan formal yang khusus mendidik anak-anak yang mempunyai kelainan, sekolah ini berhasil membuktikan bahwa di tengah keterbatasan itu tersimpan potensi luar biasa yang dapat digali oleh setiap orang.
Berbicara tentang pramuka luar biasa, kita mengenal beberapa kategori anak berkebutuhan khusus berdasar ketunaannya, antara lain tunanetra, tuna ungu-wicara, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Dalam pramuka luar biasa pun, kategorinya dibedakan antara lain menjadi kelompok A (tunanetra), B (tunarungu), C (tunagrahita), D (tunadaksa), dan E (tunalaras). Pembedaan ini memengaruhi pola penyampaian materi kepramukaan.
Bagi anggota pramuka biasa, sandi hanya dimaknai sebagai media pembelajaran yang dapat melatih ketelitian, daya ingat, kecerdasan, dan konsentrasi. Sementara bagi pramuka luar biasa, sandi merupakan alat komunikasi yang nyata, bukan hanya sekadar simulasi. Bagi tunanetra misalnya, media yang paling efektif sebagai sarana pengirim pesan adalah suara. Maka proses transformasi materi dapat dilakukan dengan sandi morse melalui media peluit.
Berbeda halnya bagi anggota pramuka tunarungu dan wicara, yang menggunakan cahaya atau bahasa isyarat sebagai media komunikasi. Bagi kategori ini, materi kepramukaan seperti semafor mempunyai nilai tambah yang tidak dirasakan oleh pramuka biasa. Kesadaran akan potensi Gerakan Pramuka ini seharusnya terus diapresiasikan agar anggota pramuka lebih peka menyikapi peluang. (Sumber: Suara Merdeka, 4 Juni 2011).
Tentang penulis:
Rahmi Nuraini, anggota DKD Pramuka Kwarda 11 Jateng, alumnus Jurusan Komunikasi FISIP Undip
0 komentar:
Post a Comment